Minggu, 29 Maret 2009

Awal Imperialisme Barat di Mesir

Awal Imperialisme Barat di Mesir

Imperialisme mulai merambah Mesir tatkala Prancis, melalui Napoleon Bonaparte, mulai pertama kali menjejaki tanah Mesir. Prancis selanjutnya sedikit demi sedikit berusaha menancapkan pengaruhnya di tanah tersebut. Usaha yang terlihat nyata adalah tatkala menempatkan Muhammad ‘Ali Pasya memegang tampuk pemerintahan di negeri tersebut. Muhammad ‘Ali Pasya (1805-1917) kemudian direkayasa oLeh Prancis seolah-olah sebagai orang yang sangat berjasa pada kemajuan Mesir. Dia diopinikan sebagai pembaru yang membawa kemajuan Mesir dari kegelapan yang ditimbulkan oleh Islam. Tahun 1840, Muhammad ‘Ali Pasha diasingkan oleh Sultan Utsmani atas desakan Prancis.

Muhammad ‘Ali mempunyal andil yang sangat besar bagi kemerosotan Islam. Dia menelorkan program ‘pencucian otak’ dengan dalih alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke Dunia Islam melalul Mesir. Untuk merealisasikan program ml, Ia mengirim mahasiswa Mesir untuk belajar ke Prancis. Setelah kembali ke Mesir, tentu dengan berbagai ragam dan corak pemikirannya, mereka menjadi guru di berbagai universitas. Yang lebih parah, para lulusan tersebut ditempatkan terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dan berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penyebaran ide-ide sesat dari Barat menjadi demikian efektif dan efisien; bukan hanya di Mesir saja, namun lebih jauh dari itu. Ide-ide sesat itu menyebar ke berbagai negeri Islam.

Pada masa selanjutnya, Prancis mulai meniupkan ‘gagasan-gagasan besar dan revolusioner’ kepada para pemikir dan pemimpin umat Islam di Mesir, yaitu ide nasionalisme dan patriotisme. Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801-1873)yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju bila berada di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing. Maksudnya, Mesir, yang selama ini di bawah perlindungan Kekhilafahan lslamiyah, oleh Prancis melalui kaki tangannya harus segera melepaskan diri agar cepat maju dan berkembang. Sedangkan, nasionalisme Mesir dipelopori oleh Mustafa Kamil (1874) yang mendirikan Hizb al-Wathan untuk— seolah-olah—memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan Perancis. Dari Mesir inilah lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori oleh Gamal Abdul Nasser.

Imperialisme Perancis semakin tak terbendung tatkala dia berhasil ikut campur tangan dalam pemerintahan Mesir pada tahun 1882 walaupun secara de facto tetap tunduk pada Kekhilafahan Utsmani hingga tahun 1914. Atas desakan dan rekayasa Perancis, antara 1914-1922 Mesir menjadi protektorat Perancis. Mesir mendapatkan kemerdekaan dari Perancis tahun 1922. Negara ini mengambil bentuk pemerintahan monarki konstitusional.

Untuk semakin menancapkan pengaruhnya, Perancis melalui Napoleon menerbitkan majalah Le Courtier d’Egypte dan La Degade Egyptienne sebagai media publikasi ide-ide mereka yang berkedok majalah yang memberitakan perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammad ‘Ali sendiri menerbitkan surat kabar aI-Waqâ’i al-Misriyah (Peristiwa-peristiwa Mesir). Media tesebut menjadi alat propaganda untuk menjelek-jelekkan Islam dan mengagung-agungkan imperialisme Perancis.

Serentetan rezim sekular selanjutnya silih berganti menguasai Mesir. Sesudah Muhammad ‘Ali Pasha, Mesir diperintah oleh Abbas I (1848- 1854) dan Abbas II (1854-1863). Pemimpin selanjutnya adalah Khedive Ismail (1863-1879). Ia memperbaiki kembali kehidupan sosial politik di Mesir. Ismail lalu digantikan oleh anaknya, Taufiq. Pemerintahan Taufiq bisa dikatakan sangat dekat dengan Inggris Oleh sebab itu, terjadilah peristiwa penting, yaitu revolusi yang dipimpin oleh Ahmad Orabi yang berkeinginan memberikan ‘tausiah’ kepada Taufiq agar jangan menjadi kaki tangan Perancis. Karena situasi yang terjadi pada waktu revolusi tersebut sangat tidak menguntungkan Perancis, Inggris menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan agresi militernya dan berhasil menduduki Kairo 14 Desember1882.

Seusai Perang Dunia I, pada November 1918, di Mesir muncul pemimpin yang bernama Sa’ad - Zaghlul. Ia berusaha menuntut kemerdekaan dari Inggris. lalu Inggris menangkap dan mengasingkannya. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Mesir. Akibatnya, pada 9 Maret 1919 terjadilah tuntutan besar menentang Inggris di Kairo dan seluruh penjuru Mesir yang menyebabkan Inggris mengubah pola politiknya dan membebaskan Sa’ad ZagLul.

Campur Tangan AS

Bersamaan dengan mulai melemahnya Inggris sebagai adidaya dunia, Amerika Serikat berambisi untuk menguasai Timur Tengah yang memang strategis terutama pasca perang dunia kedua. Untuk itu AS harus menggeser Inggris yang sebelumnya berkuasa di Timur Tengah, antara lain dengan mengobarkan semangat kemerdekaan dan anti penjajahan dan anti feodalisme di negeri Timur Tengah. Lewat beberapa perwira militer Mesir, AS mulai menanamkan pengaruhnya saat terjadi kudeta militer terhadap Raja Farouk yang merupakan boneka Inggris. Di bawah pimpinan Gamel Abdul Nasser, Gerakan Perwira Bebas (organisasi rahasia yang dibentuk tahun 1947), menggulingkan raja Farouk pada tahun 1952. Jenderal Muhammad Najib (orang suruhan Nasser) menjadi presiden dan perdana menteri Mesir. Dalam pernyataannya, Jenderal Najib dan rekan-rekannya berupaya menarik simpati masyarakat bahwa kudeta yang mereka lakukan bertujuan untuk membebaskan mesir dan imperiaLisme dan feodalisme serta agar rakyat dilayani oleh pemerintahan yang jujur yang membawa pada kesejahteraan rakyat. Untuk menguatkan kedudukannya, Najib pada bulan Juni 1953 mendeklarasikan Mesir menjadi negara Republik.

Bahwa AS menjadikan rezim baru ini untuk menguasai Mesir mulai tampak saat dihapuskannya perjanjian Inggris-Mesir pada tahun 1936 dengan membuat perjanjian baru yang ditandatangani 24 Juli 1954. Perjanjian baru ini membuat Mesir bisa mendapat bantuan ekonomi dan militer dari AS (Lihat George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terjemahan dari The Middle East in World Affairs, hlm 324). Peran AS semakin tertancap saat AS menawarkan pinjaman hutang 56 juta dollar kepada rezim Mesir untuk proyek pembangunan bendungan Aswan. Sudah merupakan strategi umum AS untuk menjadikan hutang luar negeri ini menjadi kekuatan penjerat negara yang berutang. Terbukti kemudian, hingga saat ini Mesir, sangat bergantung dan dikendalikan oleh AS karena hutang-hutangnya yang menumpuk.

Dominasi AS pun semakin kentara di Timur Tengah termasuk Mesir. Lewat krisis Suez yang muncul akibat masuknya pasukan Israel ke wilayah Mesir, AS pun mengambil peran sebagai mediator. Tentu saja dalam posisinya sebagai mediator , pengaruh AS di Timur Tengah akan semakin kuat. AS pun menggunakan organ kolonialnya, yakni PBB, untuk mengadakan sidang darurat dewan keamanan. Semua negara besar pada waktu itu, memanfaatkan krisis Suez mi untuk menanamkan pengaruhnya di Mesir. AS dan Soviet , mengingatkan Inggris agar tidak membantu Mesir untuk melawan Israel. Sementara AS mengusulkan media perdamaian lewat PBB untuk menyelesaikan masalah ini. Hal ini tentu saja menguntungkan Israel, karena dengan demikian secara de facto keberadaan Israel sebagai sebuah negara, dan sekaligus juga menguntungkan AS karena akan menggeser peran Inggris di Timur Tengah. Dan itu berlangsung hingga kini, AS senantiasa menggunakan krisis Timur Tengah terutama Palestina untuk tetap menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah.
AS kemudian menggunakan Mesir untuk menanamkan pengaruhnya di TimurTengah. Tidaklah mengherankan kemudian peran Mesir demikian besar dalam berbagai perjanjian perdamaian Israel-Palestina. Mesir juga kemudian sering menjadi mediator konflik intern negara-negara Arab , termasuk dalam krisis Irak. Peran Mesir ini, merupakan perpanjangan tangan Amerika Serikat.

Penguasa Sekular yang Repressif

Keberadaan Mesir sebagai miftahul alam al Islam (kunci dunia Islam),tidak mengherankan, kalau dari Mesir bermunculan gerakan-gerakan Islam yang kemudian menjadi barometer dunia pergerakan Islam. Sebut saja Ikhwanul Muslimin, sebuah gerakan Islam yang lahir di Mesir. Saat ini, hampir di seluruh negeri Islam, pengaruh ide maupun gerak Ikhwanul Muslimin cukup besar. Di samping Ikhwanul Muslimin yang mengambil jalan moderat, ada pula Tanzimul Jihad, Jama’ah Islamiyah, dan beberapa nama lain yang memilih jalan kekeraasan. Sementara itu, Hizbut Tahrir, yang baru-baru ini beberapa anggotanya ditahan oleh penguasa Mesir, karena perbedaan pandangan politik, tampil dengan pola gerakan yang bersifat pemikiran (fikriyyah), politik (siyasi), namun tanpa kekerasan (la mâdiyah). Berbeda dengan yang lain, Hizbut Tahrir tidak berkompromi dengan sistem yang ada dan berjuang secara inqilâbiyah (revoLusioner).

Mesir, juga tidak hanya ‘ramai’ dengan gerakan-gerakan Islam. Gerakan sekular maupun sosialis, bahkan komunisme, juga berkembang di Mesir. Apalagi pada masa Nasser, Mesir menjadi penggerak nasionalisme Arab yang cukup berpengaruh di Dunia Arab. Tidak mengherankan pula, kalau dari Mesir juga lahir intelektual sekular, sosialis, atau yang memahami Islam secara liberal (seperti Jaringan Islam Liberal di Indonesia). Dari Mesir pula lahir tokoh-tokoh kontroversial seperti Ali Abdul Raziq yang mengatakan tidak ada kewajiban menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah. ‘Ali AbduL Raziq kemudian secara tidak hormat dikeluarkan dari al-Azhar. Namun demikian, bukunya, al-islam wa Ushul al Ahkâm, yang menggugat sistem politik Islam sebagai kewajiban syariat, banyak menjadi rujukan intelektual sekular atau yang terbaratkan.

Kondisi Mesir sebagai tempat tumbuh suburnya gerakan Islam, tentu sangat dirisaukan oleh penguasa Mesir yang notabene kaki tangan Barat. Opini mengenai kesatuan seluruh umat Islam di seluruh dunia di bawah naungan Khilafah Islamiyah tentu menjadi poin tersendiri dalam benak para penguasa tersebut. Jelas, adanya Khilafah akan menjadi magnet dan ideologi tersendiri bagi manusia untuk memilih kehidupan yang layak. Khilafah akan menjadi super power yang akan menggulung kebengisan dan kebobrokan ideologi Barat dan seluruh turunannya. Setelah sosialis hancur dan sekarang kehancuran kapitalis ditunjukkan oleh beribu kebobrokan yang ad, tentu akan memalingkan umat untuk kembali lagi pada keagungan Islam.

Jika semangat penerapan syariat Islam semakin mengkristal, secara otomatis hal itu akan mengancam eksistensi para penguasa dan seluruh kepentingan Barat. Kondisi ini tentu tidak menyenangkan mereka. Untuk mencegah hal yang demikian, para penguasa sekular akhirnya menerapkan strategi tangan besi dan diktaktor. Usaha-usaha memberangus gerakan-gerakan Islam adalah cara yang jitu. Gerakan-gerakan Islam selanjutnya dikebiri dan dipersempit ruang geraknya dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat dan dalam upayanya memotong interaksi antara pemerintah sekular dan masyarakat. Bahkan, para penguasa tersebut sampai metakukan tindakan membubarkan dan menangkapi para aktivis untuk selanjutnya ditahan dan dihukum tanpa ada tuntutan yang jelas terhadapnya. Yang jelas, mereka dituduh ingin menggulingkan konstitusi yang sah.

Selain itu, ide demokrasi dijadikan obat pembius umat. Demokrasi dibungkus dan direkayasa sehingga tampak oleh rakyat Mesir seolah-olah merupakan sistem yang sesuai dan layak untuk diperjuangkan. Dengan demokrasi, seolah-olah kebebasan berpendapat dan menentukan nasib bangsa sendiri bisa terpenuhi. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan dalih demokrasi, para aktivis gerakan Islam yang secara konsekuen memperjuangkan Islam dituduh bertindak sektarian dan tidak memberikan penghormatan kepada yang Lain. Demokrasi, yang mengejawantah menjadi diktator, akhirnya muncul ke permukaan. Mesir menjadi ‘neraka’ tersendiri bagi para aktivis Islam untuk menyemai pemikiran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan pesan ya..

all of this only for you

 

Subscribe in a reader